Gema takbir kepada Sang Pencipta, kini (1 syawal 1432 H versi pemerintah), semakin luas terdengar bersahut-sahutan. Diiringi berdentum dentum suara mercon dan kembang api yang mencorakkan langit kelabu kelam. Keriuhan seperti ini sudah menjadi tradisi yang khas. Suasana yang selalu membikin haru. Terutama saat pertama kali mendengar alunan takbir yang menggetarkan hati itu.
Saya kira perasaan ini mirip dengan sewaktu saya mendengarkan lagu "Syukur" di acara jerit malam saat SMA dulu. Mirip juga ketika saya mendengarkan lagu "Padamu Negeri" usai wisuda sarjana. Mungkin juga sama dengan seorang atlet yang meneteskan air mata saat menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Raya" di kancah internasional. Perasaan haru seperti ini tak akan pernah muncul jika kita tak berkhidmat. Mengimajinasikan diri ke dalam sebuah proses perjuangan.
Saya teringat ketika upacara tiap hari senin, dulu, kita dilarang bikin ramai sendiri dalam barisan kecuali kita ingin disetrap. Komando pemimpin upacara kepada segenap peserta untuk mengheningkan cipta mengukuhkan pentingnya mengingat sejarah perjuangan. Bukan hanya mengingat, tapi turut merasakan. Ber-empati. Seolah-olah diri kita ikut berjuang mati-matian meraih kemerdekaan. Saat itulah kita merasa nurani kita bergetar. Haru. Hingga tak terasa air mata menetes di pipi kita.
Sebenarnya tiap tahun kita juga mengalami sendiri sebentuk nyata perjuangan hebat. Tidak main-main, kita berjuang di jalan Allah. Jihad. Lawan kita bukan sekedar penjajah, kompeni, koruptor, atau majikan bengis, tapi musuh tak tampak yang jauh lebih berbahaya, yaitu diri kita sendiri, dengan kata lain hawa nafsu. Sebulan berjihad melawan hawa nafsu, terlepas dari kalah atau menang, yang jelas kita sudah berusaha sekuat tenaga. Dan yakinlah bahwa hasil dari sebuah kerja keras tak akan pernah merugikan.
Tahun ini saya terpaksa tidak turut berjihad karena saya mesti nenggak obat 3 kali sehari. Saya tengah berjuang di jalan saya sendiri. Tapi paling tidak, saya turut ber-empati. Mendengar suara takbir agung yang bersahut-sahutan itu, saya turut merasakan nikmatnya jihad saudara muslim menggapai ‘kemurnian’ yang selalu dirindukan.
"Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar. Laa ilaaha illallahu Allahu Akbar. Allahu akbar wa lilla ilham"
Selamat hari raya idul fitri 1432 H. Minal aidzin wal faidzin. Mohon maaf atas segala khilaf, baik lahir maupun batin.
"Dan yakinlah bahwa hasil dari sebuah kerja keras tak akan pernah merugikan."
BalasHapusSounds Marxist but I do believe in it, teman :)
Selamat Lebaran, juga ya. Maaf lahir batin juga :D
saya juga tak tahu dari mana saya dapat kata2 itu. tiba2 mengalir begitu saja melengkapi rentetan kalimat sebelumnya. marx? saya sering mendengarnya. teori2 ekonomi politiknya memang sangat berpengaruh. tapi saya belum pernah mengkaji buku2nya scr langsung.
BalasHapussama2. thanks sudi berbagi disini kawan :)